Kabupaten Banyumas yang terletak
di selatan Gunung Slamet dengan Purwokerto sebagai ibu kotanya memiliki budaya
yang sedikit kontradiktif atau menyimpang dengan budaya Jawa pada umumnya.
Budaya Banyumasan merupakan budaya yang mengedankan unsur-unsur cablaka/blakasuta
dimaknai sebagai terus terang/apa adanya/tidak basa-basi atau dalam bahasa
Banyumasan blak-blakan, yang
disampaikan dengan gaya & dialek Baworan
(Bagong atau Bawor, salah satu punakawan dalam pewayangan). Baworan adalah gaya
verbal pengungkapan sesuatu (misal kritik, nasehat) dengan cara to the point, terbuka tetapi diyakini
tidak membuat lawan bicara tersinggung. Penyampaikan kadang dibumbuhi nada humor dan sedikit kalimat-kalimat seronok dengan tujuan membuat suasana
tetap terjaga dan santai, tetapi komunikasi tetap berjalan dengan baik.
Sebagai gambaran gaya baworan,
mungkin sajak karya “Prof. Eko Budihardjo” bisa dicermati:
Kalau Anda pengin sehat, minumlah susu
Kalau pengin seksi, rawatlah susu
Kalau pengin cantik, mandilah susu
Kalau pengin iseng, senggollah susu
Kalau pengin nikmat, isaplah susu
Kalau pengin berhasil, jangan kesusu (terburu-buru).
Dalam suasana
kekinian dan mungkin dari dulu, kalau diperhatikan sebenarnya unsur cablaka (terus
terang) lebih pada tingkat komunikasi verbal. Secara umum orang Banyumas tidak
berbeda signifikan dengan orang (suku) Jawa lainnya yang masih mengedepankan
penghormatan kepada orang tua (dituakan), memegang unggah-ungguh (sopan
santun), tepo seliro (tenggang rasa) dan mikul duwur mendem jero (mengedepankan
kebaikan dan mengubur kejelekan). (opini, bisa utk kajian)
Seni banyumasan seperti umumnya seni budaya
lain sedikit banyak telah terpinggirkan oleh budaya “pop”. Eksistensi terlihat
pada seni yang mampu mengkolaborasikan seni asli banyumasan dengan budaya pop
seperti pada kentongan.
Kenthongan merupakan kesenian pertunjukan
massal (musik dan tarian) dengan perangkat utama kenthong yang terbuat dari bambu.
Dahulu kentong difungsikan untuk
menyebar informasi kepada masyarakat, seperti informasi tanda peringatan dini bahaya banjir,
kebakaran, pencurian. Makna komunikasi sesuai ritme pukulan dan kombinasi suara,
misal pukulan satu kali artinya ada pencurian, dua kali artinya kebakaran dan
seterusnya sesuai kesepakatan masyarakat.
Pada perkembangannya karena kenthong menghasilkan nada atau irama musik, di Banyumas kenthong dimanfaatkan menjadi kesenian Kenthongan. Untuk melengkapi nada, alat musik lain ditambahkan seperti angklung, calung, suling, dan alat lain dari bahan sederhana untuk menghasikan suara tambahan seperti drum dan perkusi. Jumlah pemain kenthongan biasanya sekitar dua puluh orang, dengan seorang mayoret dan kumpulan penari. Musik dan lagu yang disuarakan kenthongan biasanya lagu dengan tempo cepat dan jenis lagu bisa diadopsi dari berbagai budaya, dari lagu jawa, pop, dangdut, maupun lagu barat. Prinsip musik adalah universal juga tercermin pada kenthongan. Paduan atau kolaborasi berbagai jenis lagu inilah yang bila dicermati merupakan strategi ampuh yang tidak disengaja menyebabkan kenthongan mudah diterima berbagai kalangan masyarakat, baik tua, muda, masyarakat kota maupun pedesaan. Pada akhirnya kenthongan menjadi kesenian traditional banyumasan yang unik tetapi menghibur, enak untuk ditonton dan didengarkan. Seni kenthongan mulai berkembang sekitar tahun 2000 dan saat ini menjadi kesenian yang rutin ditampilkan pada acara peringatan kemerdekaan RI di Kabupaten Banyumas baik dalam bentuk lomba maupun pertunjukkan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas mendata tahun 2004 perkumpulan kenthongan berjumlah 368 grup di kecamatan wilayah Kabupaten Banyumas.
Pada perkembangannya karena kenthong menghasilkan nada atau irama musik, di Banyumas kenthong dimanfaatkan menjadi kesenian Kenthongan. Untuk melengkapi nada, alat musik lain ditambahkan seperti angklung, calung, suling, dan alat lain dari bahan sederhana untuk menghasikan suara tambahan seperti drum dan perkusi. Jumlah pemain kenthongan biasanya sekitar dua puluh orang, dengan seorang mayoret dan kumpulan penari. Musik dan lagu yang disuarakan kenthongan biasanya lagu dengan tempo cepat dan jenis lagu bisa diadopsi dari berbagai budaya, dari lagu jawa, pop, dangdut, maupun lagu barat. Prinsip musik adalah universal juga tercermin pada kenthongan. Paduan atau kolaborasi berbagai jenis lagu inilah yang bila dicermati merupakan strategi ampuh yang tidak disengaja menyebabkan kenthongan mudah diterima berbagai kalangan masyarakat, baik tua, muda, masyarakat kota maupun pedesaan. Pada akhirnya kenthongan menjadi kesenian traditional banyumasan yang unik tetapi menghibur, enak untuk ditonton dan didengarkan. Seni kenthongan mulai berkembang sekitar tahun 2000 dan saat ini menjadi kesenian yang rutin ditampilkan pada acara peringatan kemerdekaan RI di Kabupaten Banyumas baik dalam bentuk lomba maupun pertunjukkan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas mendata tahun 2004 perkumpulan kenthongan berjumlah 368 grup di kecamatan wilayah Kabupaten Banyumas.
Ebeg merupakan contoh kesenian bayumasan yang tidak terpengaruh budaya
luar namun tetap eksis karena ebeg merupakan budaya tradisional yang terbentuk
dari masyarakat itu sendiri. Ebeg adalah bentuk tari tradisional khas Banyumas
dengan sarana utama berupa ebeg atau
kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan
segala atraksinya dan dibawakan oleh 8 penari pria yang merefleksikan
perjuangan khususnya perjuangan jaman kemerdekaan. Biasanya dalam pertunjukkan
ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cepet. Dalam
pertunjukkannya ebeg diiringi gamelan yang lazim disebut bendhe. Dalam
pertunjukkannya, ebeg dilengkapi dengan sintren (penari pria yang berdandan
seperti wanita) di dalam sebuah kurungan. Ebeg masih tumbuh subur di seluruh
wilayah Kabupaten Banyumas.
Inilah sebagian budaya banyumasan,
semoga bisa menjadi inspirasi (d’mange).
Sumber : Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar