Rabu, 07 Maret 2012

Seni dan Budaya Banyumasan

Kabupaten Banyumas yang terletak di selatan Gunung Slamet dengan Purwokerto sebagai ibu kotanya memiliki budaya yang sedikit kontradiktif atau menyimpang dengan budaya Jawa pada umumnya. Budaya Banyumasan merupakan budaya yang mengedankan unsur-unsur cablaka/blakasuta dimaknai sebagai terus terang/apa adanya/tidak basa-basi atau dalam bahasa Banyumasan blak-blakan, yang disampaikan dengan gaya & dialek Baworan (Bagong atau Bawor, salah satu punakawan dalam pewayangan). Baworan adalah gaya verbal pengungkapan sesuatu (misal kritik, nasehat) dengan cara to the point, terbuka tetapi diyakini tidak membuat lawan bicara tersinggung. Penyampaikan kadang dibumbuhi nada humor dan sedikit kalimat-kalimat seronok dengan tujuan membuat suasana tetap terjaga dan santai, tetapi komunikasi tetap berjalan dengan baik. 

Sebagai gambaran gaya baworan, mungkin sajak karya “Prof. Eko Budihardjo” bisa dicermati:
Kalau Anda pengin sehat, minumlah susu
Kalau pengin seksi, rawatlah susu
Kalau pengin cantik, mandilah susu
Kalau pengin iseng, senggollah susu
Kalau pengin nikmat, isaplah susu
Kalau pengin berhasil, jangan kesusu (terburu-buru).
Dalam suasana kekinian dan mungkin dari dulu, kalau diperhatikan sebenarnya unsur cablaka (terus terang) lebih pada tingkat komunikasi verbal. Secara umum orang Banyumas tidak berbeda signifikan dengan orang (suku) Jawa lainnya yang masih mengedepankan penghormatan kepada orang tua (dituakan), memegang unggah-ungguh (sopan santun), tepo seliro (tenggang rasa) dan mikul duwur mendem jero (mengedepankan kebaikan dan mengubur kejelekan). (opini, bisa utk kajian)

Seni banyumasan seperti umumnya seni budaya lain sedikit banyak telah terpinggirkan oleh budaya “pop”. Eksistensi terlihat pada seni yang mampu mengkolaborasikan seni asli banyumasan dengan budaya pop seperti pada kentongan.

 Kenthongan merupakan kesenian pertunjukan massal (musik dan tarian) dengan perangkat utama kenthong yang terbuat dari bambu. Dahulu kentong difungsikan  untuk menyebar informasi kepada masyarakat, seperti informasi tanda peringatan dini bahaya banjir, kebakaran, pencurian. Makna komunikasi sesuai ritme pukulan dan kombinasi suara, misal pukulan satu kali artinya ada pencurian, dua kali artinya kebakaran dan seterusnya sesuai kesepakatan masyarakat.

Pada perkembangannya karena kenthong menghasilkan nada atau  irama musik, di Banyumas kenthong dimanfaatkan menjadi kesenian Kenthongan. Untuk melengkapi nada, alat musik lain ditambahkan seperti angklung, calung, suling, dan alat lain dari bahan sederhana untuk menghasikan suara tambahan seperti drum dan perkusi. Jumlah pemain kenthongan biasanya sekitar dua puluh orang, dengan seorang mayoret dan kumpulan penari. Musik dan lagu yang disuarakan kenthongan biasanya lagu dengan tempo cepat dan jenis lagu bisa diadopsi dari berbagai budaya, dari lagu jawa, pop, dangdut, maupun lagu barat. Prinsip musik adalah universal juga tercermin pada kenthongan. Paduan atau kolaborasi berbagai jenis lagu inilah yang bila dicermati merupakan strategi ampuh yang tidak disengaja menyebabkan kenthongan mudah diterima berbagai kalangan masyarakat, baik tua, muda,  masyarakat kota maupun pedesaan. Pada akhirnya kenthongan menjadi kesenian traditional banyumasan yang unik tetapi menghibur, enak untuk ditonton dan didengarkan. Seni kenthongan mulai berkembang sekitar tahun  2000 dan saat ini menjadi kesenian yang rutin ditampilkan pada acara peringatan  kemerdekaan RI di Kabupaten Banyumas baik dalam bentuk lomba maupun pertunjukkan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas mendata tahun 2004 perkumpulan kenthongan berjumlah 368 grup di kecamatan wilayah Kabupaten Banyumas.

Ebeg merupakan contoh kesenian bayumasan yang tidak terpengaruh budaya luar namun tetap eksis karena ebeg merupakan budaya tradisional yang terbentuk dari masyarakat itu sendiri. Ebeg adalah bentuk tari tradisional khas Banyumas dengan sarana utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya dan dibawakan oleh 8 penari pria yang merefleksikan perjuangan khususnya perjuangan jaman kemerdekaan. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cepet. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi gamelan yang lazim disebut bendhe. Dalam pertunjukkannya, ebeg dilengkapi dengan sintren (penari pria yang berdandan seperti wanita) di dalam sebuah kurungan. Ebeg masih tumbuh subur di seluruh wilayah Kabupaten Banyumas. 
Inilah sebagian budaya banyumasan, semoga bisa menjadi inspirasi (d’mange). Sumber : Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar